Berita / Seni dan Budaya |
Eksistensi Ulama dan Pengulu
Oleh admin | ||
| ||
Oleh Duski Samad, Dosen Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang Setelah mengikuti Kongres Kebudayaan dan Apresiasi Seni Budaya Minangkabau yang diselenggarakan Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Pemprov Sumbar, di Inna Muara, 29-30 November 2006 lalu, ada sesuatu yang masih menggelitik untuk disampaikan.
Helat budaya yang cukup bergengsi dan diikuti oleh berbagai elemen penting anak nagari, tidak saja menampilkan sosok ragam budaya alam minangkabau, akan tetapi juga memberikan ruang kepada budayawan, pakar, pemerhati, praktisi dan tokoh-tokoh adat, ulama dan anak nagari untuk untuk menuangkan gagasan, pikiran, kritikan, apresiasi yang keselurahannya tentu dimaksudkan untuk memberikan penguatan pada agama, adat dan budaya Minangkabau.
Kesan bahwa ulama, ninik mamak, adat dan agama seolah-olah terpinggirkan dalam sistim hidup bermasyarakat dan bernegara akhir-akhir ini terasa kuat di alam pikiran peserta kongres. Pada diskusi panel kelompok C yang membahas tentang agama dan budaya dalam amatan berbagai kelompok masyarakat, terlihat sekali ada beban berat yang dipikul oleh sebahagian penghulu dan alim ulama, khususnya ketika pemakalah berbicara bahwa kini penghulu dan ulama terpinggirkan.
Diskusi yang dipandu oleh budayawan Darman Moenir yang cukup cerdas mengunggah peserta berfikir kritis, menampilkan dua pemakalah satu dari rantau pesisir Ulakan Pariaman dan satu lagi dari luhak nan bungsu 50 Kota. Kedua pemakalah yang memang praktisi adat dan menyandang gelar adat itu dengan suara meyakinkan mengatakan bahwa kini, memang penghulu dan ulama sebagai unsur penting dalam adat terpinggirkan dalam sistim hidup bernegara dan bermasyarakat. Salah seorang pemakalah dengan ringan menumpahkan ketidakpuasaannya dengan membuat beberapa ilustrasi yang mencerminkan begitu terpinggirkannya peran ninik mamak dan alim ulama. Ada hal yang sangat sulit dipahami lagi, sang ninik mamak kita itu berbicara bahwa penjajah saja dulu memberikan penghargaan yang memadai pada ninik mamak dan alim ulama, contohnya, ninik mamak dan alim ulama tidak dipungut bayaran bila naik kereta api, atau ketika ada acara adat pemerintah Belanda membantunya.
Bahasan tentang terpinggirkannya ninik mamak dan alim ulama yang diangkat dalam sesi pagi itu ternyata mendatangkan apresiasi yang berbeda. Unsur kaum tua---generasi berumur lebih lanjut (tua)---yang umumnya pemuka adat (penghulu), alim ulama, dan budayawan senior tampaknya sepakat dengan pemakalah. Melalui ragam petatih-petitih dan bahasa adat dapat ditarik benang merah pemikiran mereka bahwa ninik mamak, alim ulama dan unsur adat betul-betul terpinggirkan. Dipihak generasi muda yang direpresentasikan oleh beberapa penanya mempertanyakan bentuk, model dan pola pewarisan adat yang seperti apa yang telah, sedang dan akan diberikan oleh ninik mamak, alim ulama dan tokoh adat kepada kami generasi Minangkabau masa datang?
Penanya kelompok ketiga adalah generasi tengah---tuo alun, mudo talampaui---yang umumnya generasi Minang terdidik dengan profesi mapan. Kesan yang ditangkap dari komentar dan pertanyaannya, mereka semua masih memiliki rasa optimisme bersamaan dengan pikiran kritis mereka mengajukan beberapa argumen yang kiranya patut dianalisis.
Penanya mencermati jalan sejarah Minangkabau, dapat dikatakan sejak awalnya adat dan budaya Minangkabau memang hidup dalam dialektika budaya kompetitif dan generasi masa lalu dapat memenangkan pertandingan itu. Sejarah mencatat sejak awal, alam Minangkabau yang seratus persen dapat membumikan sistim adat dan agama seperti yang ada dalam falsafah itu mungkin hanya utopia (mimpi). Yang pasti, sejak penjajah; zaman merdeka, orde lama, orde baru dan kini orde reformasi ninik mamak dan alien ulaina adalah diposisikan sebagai tokoh informal. Artinya sistim dan struktur negara belum pernah masuk secara utuh kedalam sistim adat. Kalaupun ada Ninik Mamak yang jadi Regent, Gubernur, Bupati, Camat dan Wali Nagari akan tetapi dalam peiaksanaan tugasnya tetap saja ia berpedoman kepada sistim dan undang-undang yang ditetapkan Negara RI. Ini dapat dijadikan indikasi bahwa sejak lama di ranah bundo ini tetap berjalan dua kekuasaan secara parallel, Negara sebagai pemegang kekuasaan formal, penghulu dan ulama sebagai pemegang kekuasaan kultural.
Berfikir paralel (structural dan cultural) tentunya akan membuat dua pemegang kedaulatan (power) ini bisa lebih arif dalam memposisikan peran dan fungsinya. Penghulu, Ulama dan Tokoh Formal---pejabat perintah---sebenarnya adalah individu-individu yang sama-sama anak nagari, yang sama-sama cinta pada budaya dan nenek moyangnya, namun kedudukan dan fungsi menjadikan mereka berbeda dalam bersikap. Keberbedaan dan ketidaksesuaian dalam kebijakan dan prilaku politik yang seyogyanya dapat diminimalisir ketika mereka memerankan diri dengan jujur, ikhlas dan bertanggung jawab.
Kembali kepada diskursus ulama dan ninik mamak dipinggirkan atau meminggirkan diri. Kaum muda terdidik Minangkabau hampir sama nadanya. Kompetisi yang semangkin sengit dan sempit ini pasti memerlukan energi lebih. Mental orang menang, prilaku kemandirian tidak merasa tamu di rumah sendiri, jujur, ikhlas dan bermartabat adalah sifat-sifat yang harus dipunyai ninik mamak dan alim ulama modern jika ingin survive diera global ini. Menjauhi berfikir aji mumpu, bermental calo -lebih parah lagi calo politik, mengedepankan tangan di bawah adalah virus mematikan dan meminggirkan peran seorang tokoh.
Akhirnya, diskusi ini ditutup oleh moderator tanpa niat menyimpulkan, karena setiap orang membawa kesimpulan yang berbeda. Sangat meyakinkan ungkapan seorang peserta dari Agam, ninik mamak dan alim ulama tidak akan pernah terpinggirkan ketika ia hadir dengan jati dirinya dan berperan sesuai dengan semangat zaman. ***
Sumber: Padang Ekspres | ||
Berita Seni dan Budaya Lainnya | ||